Bahayakah Jika Anak Gila Bola?
Sepakbola, sudah bukan lagi
menjadi sekedar hobi bermain, tapi kini para penggila olahraga sepakbola atau
biasa disebut gibol (gila bola), sudah membentuk komunitas tersendiri. Selama
gibol masih on the track yang benar, rasanya tak ada yang salah dengan
kecenderungan itu. Tapi bagaimana jika gibol menyerang buah hati Anda? Apa
mengkhawatirkan, dan apa yang harus Anda lakukan?
Seorang ibu mengeluh kepada
psikolog di Batam. “Anak saya sekarang sudah tak mau lagi ikut kegiatan
ekstrakulikuler di sekolah, selain sepakbola. Hampir setiap hari, aktivitasnya
tak jauh-jauh dari bola, dan bola. Mulai dari bermain bola dengan
kawan-kawannya, membaca berita sepakbola di koran, sampai bergadang hanya untuk
menonton tayangan langsung pertandingan sepakbola. Bukan hanya tim-tim dalam
negeri yang ditonton, nama-nama pemain tim Italia, Inggris dan Belanda sudah
dihapal di luar kepalanya.”
Seorang bapak lainnya juga
mengeluhkan hal serupa. “Anak saya sekarang sudah kelas lima. Hari-hari yang
ada di otaknya hanya sepakbola. Ketika duduk di kelas dua hingga kelas empat,
cita-citanya masih ingin menjadi pilot pesawat tempur. Tapi sekarang ia sudah
tak lagi bercita-cita, sejak menjadi gibol.”
Semakin hari, keluhan seperti
itu kian menumpuk. Ketika Qalam melakukan penelusuran kepada sejumlah orangtua
dan psikolog, terbukti semakin banyak saja orangtua yang resah dan khawatir
terjadap tumbuh kembang anak mereka, sejak menjadi gibol. Namun pandangan
berbeda disampaikan psikolog yang juga Ketua Komisi Perlindungan Anak Provinsi
Kepulauan Riau (Kepri) Bibiana Dyah Sucahyani, yang menilai tak ada masalah
dengan gibol, dan kecenderungan itu tak perlu dikhawatirkan. “Justru bisa
dijadikan sebagai motivasi,” tegasnya.
Menurut alumni Universitas
Gajah Mada (UGM) Yogyakarta itu, dampak positif kesenangan anak pada olahraga
sepakbola adalah terwujudnya sarana penyaluran energi anak kepada hal-hal
positif. Motorik anak akan terlatih. Juga, dari kecenderungannya itu dapat
diamati apakah si anak memang benar-benar memiliki potensi di bidang sepakbola.
Lebih jauh, sepakbola akan
melatih anak untuk bersikap sportif, taat aturan, bisa bekerjasama dalam tim,
disiplin dan mempelajari berbagai strategi. Hanya ada sedikit dampak negatifnya
jika si anak tidak diperhatikan keseimbangan kegiatannya dengan hal lain. Hingga
anak hanya akan menghabiskan waktunya untuk bermain atau menonton bola, ia pun
akan lupa untuk belajar.
Tapi, jika gibol disalurkan
dengan cara yang tepat, tentu tak akan mengganggu prestasi belajar anak. Gibol
justru akan lebih memotivasi anak. Misalnya, jika anak berprestasi atau
mendapat nilai bagus di sekolah, maka orangtua dapat mengajak si anak nonton
langsung pertandingan sepakbola tim kesayangan. Atau, membelikannya sampul buku
bergambar bola dan sebagainya. Disamping itu, gambar pemain idola juga dapat
dijadikan motivasi untuk memacu prestasi akademik anak.
Permainan sepakbola juga
dapat berdampak langsung pada kegiatan belajar anak. Jika anak dapat fokus pada
bola saat bermain sepakbola, ia pun akan mampu fokus pada pelajaran di kelas.
Kiat menghadapi anak yang
gibol, orangtua harus lebih kreatif mempergaulinya. Biasanya, anak gibol
cenderung kinesketik, maka metode pembelajaran kinesketik yang layak digunakan
untuk membantu anak lebih menguasai pelajarannya.
Lalu, bagaimana cara
menyalurkan bakat anak gibol? Menutur Bibiana, diperlukan stimulasi dengan
minat bakat yang relevan. Karena ia memiliki kecerdasan kinesketik, pilihan
tepat adalah memasukkan anak ke klub sepakbola. Namun tentunya, harus
diupayakan adanya kesepakatan bersama antara anak dan orangtua dalam urusan
mengatur waktu.
Bagi kalangan penyelenggara
pendidikan, anak-anak gibol bisa diberdayakan dengan menyelenggarakan kegiatan
ekstrakurikuler sepakbola. Dalam kegiatan itu, anak diberi kesempatan untuk
menunjukkan kemampuan multiple intelligencesnya. Salah satunya kecerdasan
kinestik. Dengan memberi stimulasi dan kesempatan kepada anak gibol, kiranya
pengembangan potensi dan penyaluran minatnya yang terarah, sangat dapat
membantu dalam pembentukan karakter positif dirinya.
Kesehatan Mental Gibol
Jika ditelusuri lebih jauh
hasil-hasil penelitian dan dampak psikologis dari gibol, fakta cukup
mengejutkan dapat ditemui. Dalam penelitian yang dilakukan Masterton G. dan
Mander J.A. (1990) yang dimuat dalam The British Journal of Psychiatry,
dibuktikan bahwa saat Piala Dunia sepakbola digelar, jumlah pasien gawat
darurat psikiatri mengalami penurunan besar selama dan sesudah pertandingan
final.
Memang, ketika tim pujaan
kalah, ada pengaruh negatif bagi kesehatan para gibol pencinta tim itu. Tapi
pengaruh itu tidak terlalu serius. Karena menonton pertandingan sepakbola,
menurut penelitian itu, merupakan tindakan katarsis yang memberi kesempatan
penonton pria untuk mengekspresikan dan merilis emosi internalnya.
Lebih dari itu, ternyata
gibol juga terbukti dapat mencegah kaum muda dari aksi percobaan bunuh diri.
Sebab, saat menonton pertandingan sepakbola, para gibol memiliki cukup banyak
momentum untuk melepaskan ekspresi emosi. Secara psikologis, hal ini dapat
membantu mereka untuk menurunkan tingkat stres, yang sebagian berujung pada
upaya bunuh diri.
Seperti dirilis Mental Health
Foundation dari Inggris, saat mengalami masalah mental, satu dari empat lelaki
muda di bawah umur 35 tahun rentan untuk melakukan bunuh diri. Kelompok usia
ini memang merupakan penggemar bola terbanyak di seluruh dunia. Maka, pelepasan
emosi –dengan menonton sepakbola- penting untuk menjaga kesehatan. Seperti
menurut penelitian yang dilakukan psikolog dari Northumbria University Inggris,
gara-gara sepakbola, pria menjadi lebih mudah untuk mengungkapkan emosinya.
Selain berdampak pada emosi,
sepakbola juga sangat berpengaruh kepada relasi, identitas, dan penghargaan
diri. Menurut penelitian Sir Norman Chester Centre for Football Research,
University of Leicester di Inggris, satu di antara empat orang yang menyebut
dirinya penggila bola, mengatakan bahwa sepakbola merupakan satu hal paling
penting dalam hidup mereka.
Di balik manfaat itu, ada
bahaya yang mengintai gibol jika tidak diantisipasi dampaknya. Sebuah
penelitian membuktikan, menjelang pertandingan Piala Eropa 2008, para dokter di
benua Eropa telah bersiap-siap menghadapi meningkatnya panggilan gawat darurat,
serangan jantung, kekerasan pada istri, pelanggaran menyetir dalam keadaan
mabuk, depresi, melukai diri sendiri, bahkan bunuh diri. “Semakin penting
pertandingan, semakin besar resikonya,” ujar Ute Wilbert-Lampert, peneliti dari
The Munich University Clinic di Jerman, sebagaimana dikutip kantor berita AFP.
Selama pertandingan Piala
Dunia 2006, ditemukan sejumlah kasus cardiac arrest atau jantung berhenti
mendadak dan berdebar-debar yang menimpa kaum pria di Munich. Di kalangan
wanita, kasus itu meningkat dua kali lipat. Terlebih ketika Tim Jerman berlaga
di perempatfinal melawan Argentina. Kasusnya kian meningkat saat Jerman berlaga
di semifinal melawan Italia, dan kalah.
Di Inggris, peneliti
menemukan serangan jantung meningkat 25 persen ketika Inggris kalah dari
Argentina melalui tendangan pinalti di Piala Dunia 1998. Peningkatan angka itu
membuat para ahli menganjurkan agar kalangan orang yang memiliki resiko stres
gara-gara pertandingan bola, untuk mengonsumsi obat-obatan receptor blocker,
aspirin, dan statin. Mereka bahkan menawarkan kalangan yang rentan itu
melakukan terapi perilaku untuk menenangkan diri sebelum duduk di sofa dan
menonton pertandingan.
Herve Douard ahli penyakit
jantung di University Hospital Clinic di Bordeaux, Perancis, menganjurkan agar
para pasiennya yang berpotensi terserang jantung maupun yang efektif terserang
jantung, untuk tidak nonton pertandingan penting sepakbola.
Tapi, tidak semua pertandingan
sepakbola mendatangkan bahaya. Sebuah penelitian terbaru, seperti dirilis situs
BBC menyatakan, menonton tim sepakbola kesayangan menang dalam pertandingan
penting, akan berefek baik untuk jantung. Buktinya, angka kematian karena
serangan jantung di Perancis mengalami penurunan signifikan, ketika tim
nasional mereka menang 3-0 atas Brasil di Final Piala Dunia 1998. (saibansah
dardani)
No comments:
Post a Comment