Prof. Dr. dr. Dadang Hawari, Psi
Dosen Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia,
Penulis Buku
HIV/AIDS kini telah menjadi bahaya laten bagi bangsa Indonesia.
Dewasa ini, terhadap pencegahan penularan maupun penyebaran HIV/AIDS, selain
upaya di bidang medik, psikologis dan sosial, juga dilakukan pendekatan melalui
moral etika agama. Penyakit HIV/AIDS adalah penyakit terminal, artinya perjalanan
penyakit itu akan berakhir dengan kematian. Banyak penderita yang mengalami
ganggauan kejiwaan, seperti kecemasan dan depresi, serta krisis spiritual.
Karenanya, peran psikiater dan rohaniawan menjadi lebih penting.
Terlebih, penyakit ini sebagian besar ditularkan melalui hubungan seksual,
khususnya perzinahan. Dari pendekatan Islam, penderita yang tertular penyakit
ini telah diberi beberapa jalan keluar. Yaitu:
Pertama, segeralah bertobat dengan sungguh-sungguh (taubatan-nasûhâ`).
Sebagaimana disabdakan RAsululllah SAW,“Bertobatlah kamu sebelum maut menjemputmu.” Juga, bukankah Allah SWT Maha
Pengasih, Maha Penyayang, lagi Maha Pengampun?
Kedua, sebagai konsekuensi tobat, berjanjilah kepada Allah untuk
tidak menularkan penyakit ini kepada orang lain, termasuk isteri atau suami,
dan tidak lagi melakukan perzinahan, sekalipun memakai kondom.
Ketiga, meningkatkan takwa dan keimanan kepada Allah, serta
memperbanyak amal shalih dan kebajikan selama hayat masih di kandung badan.
Karena, dengan takwa an amal shalih, tertebuslah dosa dan kesalahan masa lalu.
Siapa tahu, si penderita akan meninggal bukan karena penyakit tersebut, tapi
oleh sebab lain. Allah sungguh Maha Adil manakala tobat seseorang Dia terima.
Keempat, terhadap penderita yang tertular HIV/AIDS bukan karena
perzinahan, misalnya melalui jarum suntik, transfusi darah dan lainnya,
bertakwalah kepada Allah. Karena apa yang dialaminya itu adalah musibah dan
cobaan. Mereka yang mengalaminya sebenarnya merupakan korban dari orang lain
yang “nakal”.
Kelima, bila ajal tiba, tetaplah dalam keadaan beriman kepada Allah.
NAZA
Sebagaimana halnya dalam penanggulangan HIV/AIDS, maka
pendekatan moral etika agama juga dilakukan terhadap penanggulangan NAZA
(Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif). Pendekatan ini berdasarkan hukum yang
menyatakan bahwa NAZA haram hukumnya, baik dari segi agama maupun Undang-undang
(UU).
Karena NAZA hukumnya haram, maka mencoba-cobanya meski sedikit
tetap haram hukumnya. Maka paradigma yang dipakai adalah segeralah berobat dan
bertobat, sebelum yang bersangkutan ditangkap.
Dalam hal terapi penyalahgunaan NAZA, dapat digunakan pendekatan
yang terintegrasi (sistem terpadu). Yaitu medik, psikologik, sosial dan agama.
Terapi (detoksifikasi) NAZA khususnya jenis heroin (putau) tidak
menggunakan substitusi seperti methadone,
subutex dan zat lain
sejenis.
Ini sesuai dengan konsekuensi bahwa heroin (putau)
diharamkan oleh UU dan agama, demikian pula dengan zat sintesisnya, seperti methadone, subutex, tramal, tramadol, godein dan sejenisnya diharamkan pula untuk
digunakan dalam terapi NAZA. Walau metode terapi ini telah mendapat pengakuan
dari United Nations Office on Drugs and Crime.
Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah, “Allah tidak menjadikan penyembuhanmu dengan apa
yang diharamkan atas kamu.”(HR. Baihaqi) Dan yang haram, memang
tidak dapat dijadikan obat untuk menyembuhkan penyakit.
No comments:
Post a Comment