Sunday, January 27, 2013

Ragam Kehidupan


SEALOT KETAN BAKAR
                Adzan bergema, segera saya bergegas menunaikan sholat lima waktu. Saya harus bergegas untuk segera menjajakan jualan saya. Semua peralatan sudaha saya persiapkan sejak sore tadi, barang dagangan pun sudah siap di dalam gerobak sederhana saya.
                Yah, begitulah kehidupan bapak Uus (penjual ketan bakar) sehari-hari. Setelah maghrib Pak Uus segera berangkat ke depan gang  untuk menjajakan dagangannya. Ketan bakar buatan tangannya sudah dinanti orang-orang langganannya. Diam di gapura sambil membakar ketan sudah menjadi rutinitasnya. Sambil membakar, Pak Uus dengan sabar menunggu orang lewat yang mencari sesuatu pengganjal perut penunda lapar sebelum tiba di rumah atau orang- orang yang memang menyukai dagangannya.
                Pak Uus tinggal seorang diri di rumah sederhana hasil jerih payahnya setelah istri yang dicintainya meninggal dunia. Bukan karena ia tidak punya keluarga lagi. Tetapi ia memang lebih menikmati hidupnya sendiri sambil menghabiskan hari tuanya daripada harus tinggal bersama anak-anaknya yang telah memiliki kehidupan sendiri. Pak Uus memiliki 6 orang putra yang tinggal jauh dengannya.
                Dengan ketan bakar, ia mampu membesarkan anak-anaknya dan mampu membeli rumah kecil tempat mereka berteduh dari teriknya matahari dan rintik hujan. Karena itulah, dia tidak ingin meninggalkan kehidupannya itu untuk kemudian tinggal bersama anak-anaknya. Mekipun anak-anaknya terbilang cukup untuk sekedar menafkahinya, ia tetap pada pendiriannya. Bahkan ketika kami menanyakan mengapa ia memilih hidup sendiri bapak malah tersenyum.
                “Buat apa saya merepotin anak saya, sedangkan saya sendiri masih mampu untuk mencari uang. Biarlah mereka memikirkan hidupnya tanpa tebeban oleh saya. Kalau untuk sekedar makan, insya Allah saya bias. Bahkan lebih dari itu, saya juga masih bisa penuhi.”
                Sungguh mulia memang hati si bapak, bahkan di usianya yang sudah 65 tahun ini, ia masih berjuang melawan dinginnya malam dan kelelahan ketika harus membakar ketan pesanan pelanggan. Padahal, seharusnya ia tinggal diam di rumah sambil bercanda bersama cucu-cucunya.
                “Ah, buat apa Neng?” jawabnya. “Toh saya juga bisa berkumpul bersama mereka, ketika mereka berkunjung ke rumah. Saya sudah bekerja 37 tahun sejak saya tamat SMP dulu. Jadi, saya tidak merasa capek dengan pekerjaan ini. Saya bahkan akan merasa kurang nyaman jika saya tidak melakukannya sehari saja.”
                Begitulah, jawaban Pak Uus ketika kami menanyakan hal itu. Guratan di wajahnya tidak dapat membohonigi keadaannya. Ia sudah tua dan lelah. Namun, ia menutupinya dengan senyuman yang selalu menghiasi wajahnya. Setiap pagi ketika fajar menyingsing, ia membereskan rumah sendiri, mencuci pakaian, piring bekas makan, menyapu rumah, semuanya itu ia kerjakan sendiri.
                Sejak tahun 1987 ia ditinggal perghi oleh istrinya untuk selama-lamanya. Sejak saat itu jugalah ia membesarkan anaknya sendiri sampai mereka mampu berkeluarga sendiri. Pak Uus tidak hanya berjualan di Bandung saja. Tetapi ia juga sudah pernah diam di Lampung. Dan sekarang anaknya juga ada yang tinggal di Lampung buka usaha konveksi. Sebagian lagi anaknya tinggal di Bandung. Ada yang bekerja sebagai sopir di pabrik yakult dan buka usaha sendiri.
                Penghasilannya yang terbilang kecil menghantarkan hidupnya menjadi seperti sekarang. Setiap hari Pak Uus bisa mengumpulkan rupiah kecil mulai dari Rp 20.000,00 –   Rp 45.000,00. Dengan uang itu ia bisa bertahan sampai sekarang, tanpa mengelih. Padahal, dibandingkan dengan kami, uang itu dalam sehari bisa habis buat jajan atau malah masih kurang.
                Dari percakapan bersama Pak Uus kami sekarang mengerti  arti kehidupan ini. Kami sekarang bisa lebih menghargai pekerjaan kami yang mungkin lebih baik dan lebih memberikan uang dalam jumlah manyak. Kini kami mengerti arti kesabaran dan kesetiaan pada pekerjaan. Tidak semua orang seperti yang kami lihat dan kami sirik seperti sekarang ini, kami harus bersyukur karena kami masih lebih baik dari sebagian orang yang kurang beruntung.
                Kehidupan memang tidak selamanya seperti yang kita inginkan, dan kita harus menjalaninya. Seperti Pak Uus yang selalu sabar walau hidupnya sealot ketan yang selalu begitu saja. Bisa bertambah tapi kemudian kembali seperti semula lagi.

No comments:

Post a Comment