SEALOT
KETAN BAKAR
Adzan bergema,
segera saya bergegas menunaikan sholat lima waktu. Saya harus bergegas untuk
segera menjajakan jualan saya. Semua peralatan sudaha saya persiapkan sejak
sore tadi, barang dagangan pun sudah siap di dalam gerobak sederhana saya.
Yah, begitulah
kehidupan bapak Uus (penjual ketan bakar) sehari-hari. Setelah maghrib Pak Uus segera
berangkat ke depan gang untuk menjajakan
dagangannya. Ketan bakar buatan tangannya sudah dinanti orang-orang
langganannya. Diam di gapura sambil membakar ketan sudah menjadi rutinitasnya.
Sambil membakar, Pak Uus dengan sabar menunggu orang lewat yang mencari sesuatu
pengganjal perut penunda lapar sebelum tiba di rumah atau orang- orang yang
memang menyukai dagangannya.
Pak Uus tinggal
seorang diri di rumah sederhana hasil jerih payahnya setelah istri yang
dicintainya meninggal dunia. Bukan karena ia tidak punya keluarga lagi. Tetapi
ia memang lebih menikmati hidupnya sendiri sambil menghabiskan hari tuanya
daripada harus tinggal bersama anak-anaknya yang telah memiliki kehidupan
sendiri. Pak Uus memiliki 6 orang putra yang tinggal jauh dengannya.
Dengan ketan
bakar, ia mampu membesarkan anak-anaknya dan mampu membeli rumah kecil tempat
mereka berteduh dari teriknya matahari dan rintik hujan. Karena itulah, dia
tidak ingin meninggalkan kehidupannya itu untuk kemudian tinggal bersama
anak-anaknya. Mekipun anak-anaknya terbilang cukup untuk sekedar menafkahinya,
ia tetap pada pendiriannya. Bahkan ketika kami menanyakan mengapa ia memilih hidup
sendiri bapak malah tersenyum.
“Buat apa saya
merepotin anak saya, sedangkan saya sendiri masih mampu untuk mencari uang.
Biarlah mereka memikirkan hidupnya tanpa tebeban oleh saya. Kalau untuk sekedar
makan, insya Allah saya bias. Bahkan lebih dari itu, saya juga masih bisa
penuhi.”
Sungguh mulia
memang hati si bapak, bahkan di usianya yang sudah 65 tahun ini, ia masih
berjuang melawan dinginnya malam dan kelelahan ketika harus membakar ketan
pesanan pelanggan. Padahal, seharusnya ia tinggal diam di rumah sambil bercanda
bersama cucu-cucunya.
“Ah, buat apa Neng?”
jawabnya. “Toh saya juga bisa berkumpul bersama mereka, ketika mereka
berkunjung ke rumah. Saya sudah bekerja 37 tahun sejak saya tamat SMP dulu.
Jadi, saya tidak merasa capek dengan pekerjaan ini. Saya bahkan akan merasa
kurang nyaman jika saya tidak melakukannya sehari saja.”
Begitulah,
jawaban Pak Uus ketika kami menanyakan hal itu. Guratan di wajahnya tidak dapat
membohonigi keadaannya. Ia sudah tua dan lelah. Namun, ia menutupinya dengan
senyuman yang selalu menghiasi wajahnya. Setiap pagi ketika fajar menyingsing,
ia membereskan rumah sendiri, mencuci pakaian, piring bekas makan, menyapu
rumah, semuanya itu ia kerjakan sendiri.
Sejak tahun
1987 ia ditinggal perghi oleh istrinya untuk selama-lamanya. Sejak saat itu
jugalah ia membesarkan anaknya sendiri sampai mereka mampu berkeluarga sendiri.
Pak Uus tidak hanya berjualan di Bandung saja. Tetapi ia juga sudah pernah diam
di Lampung. Dan sekarang anaknya juga ada yang tinggal di Lampung buka usaha
konveksi. Sebagian lagi anaknya tinggal di Bandung. Ada yang bekerja sebagai
sopir di pabrik yakult dan buka usaha sendiri.
Penghasilannya
yang terbilang kecil menghantarkan hidupnya menjadi seperti sekarang. Setiap
hari Pak Uus bisa mengumpulkan rupiah kecil mulai dari Rp 20.000,00 – Rp 45.000,00.
Dengan uang itu ia bisa bertahan sampai sekarang, tanpa mengelih. Padahal,
dibandingkan dengan kami, uang itu dalam sehari bisa habis buat jajan atau
malah masih kurang.
Dari percakapan
bersama Pak Uus kami sekarang mengerti
arti kehidupan ini. Kami sekarang bisa lebih menghargai pekerjaan kami
yang mungkin lebih baik dan lebih memberikan uang dalam jumlah manyak. Kini
kami mengerti arti kesabaran dan kesetiaan pada pekerjaan. Tidak semua orang seperti
yang kami lihat dan kami sirik seperti sekarang ini, kami harus bersyukur
karena kami masih lebih baik dari sebagian orang yang kurang beruntung.
Kehidupan
memang tidak selamanya seperti yang kita inginkan, dan kita harus menjalaninya.
Seperti Pak Uus yang selalu sabar walau hidupnya sealot ketan yang selalu
begitu saja. Bisa bertambah tapi kemudian kembali seperti semula lagi.
No comments:
Post a Comment