Nanang Abdul Manan
Pornografi menjadi salah satu pemicu kian maraknya pergaulan
bebas yang melegalkan seks pra-nikah. Perlu pendidikan kreatif yang tidak
memicu persepsi seksual remaja.
Didampingi seorang remaja laki-laki bernama Adi (18), Indri (18)
remaja putri yang masih duduk di kelas tiga di sebuah Sekolah Menengah Umum
(SMU) itu mendatangi rumah praktik seorang dokter kandungan.
“Dok, tolong dok. Hidup saya di tangan dokter. Tolong dok,
gugurkan kadungan saya. Saya masih ingin sekolah. Saya malu kepada orangtua,
masyarakat dan teman-teman. Hidup saya bisa hancur berantakan dok,” pinta Indri
memelas.
Indri, hanya satu dari sekian banyak pelaku aborsi yang dilakukan
kalangan remaja di seluruh dunia. Mereka korban pergaulan bebas, yang cenderung
suka melakukan seks pra-nikah.
Di Indonesia, pornografi menjadi salah satu pemicu kian maraknya
pergaulan negatif remaja. Tercuat data, lebih dari 500 video porno telah dibuat
dan diedarkan di negeri ini. “Rata-rata, video amatir hasil rekaman kamera
ponsel,” ungkap Sony Set, peneliti dan praktisi pertelevisian sekaligus penulis
buku 500 plus, Gelombang Video
Porno Indonesia. “90% pembuat video porno itu berasal dari kalangan
anak muda, dari SMP sampai mahasiswa. Sisanya dari kalangan dewasa,” ujar Sony.
Dari riset tahun 2008 terhadap banyak sampel di 33 provinsi di
Indonesia, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengungkap,
sekitar 63 persen remaja usia sekolah menengah pertama (SMP) dan menengah atas
(SMU) di Indonesia mengaku sudah pernah melakukan hubungan seks. ”21 persen di
antaranya melakukan aborsi,” papar Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak
Reproduksi BKKBN, M. Masri Muadz.
Menurut Rena Latifa, M.Psi, dosen Fakultas Psikologi Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah, Jakarta, maraknya pergaulan bebas,
terjadi karena arus modernisasi. Banyak budaya asing masuk melalui sarana
multimedia tanpa mampu dicegah, dan tidak diimbangi dengan dasar pendidikan
agama yang kuat berikut kontrol para orangtua. Masa remaja yang dikenal sebagai masa transisi, memperlihatkan
tingginya gejolak emosi dan rasa keingintahuan kaum remaja. Pada saat itu,
imbuh Rena, para remaja sedang mengalami masa pencarian jati diri. Sifat egois
dan pemberontak, lekat pada diri mereka. Mereka juga rentan terbawa arus budaya
asing, sikap suka membangkang orangtua.
Khusus terkait fenomena hubungan seks pra-nikah yang marak
terjadi, M Masri Muadz, Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi
BKKBN menilai, ada beberapa faktor utama yang mendorong mereka melakukan
perilaku buruk ini. Di antaranya pengaruh liberalisme dan pergaulan bebas,
kemudian lingkungan dan keluarga, serta pengaruh perkembangan media massa.
Resikonya, para remaja rentan terhadap resiko gangguan
kesehatan. Seperti penyakit HIV/AIDS, penggunaan narkoba, dan penyakit lainnya.
Pernikahan dini yang instan pun marak terjadi karena keterpaksaan, yang
berujung pada lekas retaknya bahtera rumah tangga yang mereka rajut.
Data Departemen Kesehatan hingga September 2008 menyebutkan,
dari 15.210 penderita AIDS atau orang yang hidup dengan HIV/AIDS di Indonesia,
54 persen di antaranya adalah remaja. Oleh karena itu, BKKBN memandang penting
keberadaan Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK KRR)
untuk menjawab permasalahan kesehatan reproduksi remaja. Disamping perannya
sebagai sarana remaja untuk berkonsultasi mengembangkan kemauan dan kemampuan
positifnya.
Upaya ini juga sangat perlu untuk meminimalisasi hingga
mengeleminasi fenomena hamil di luar nikah yang sangat rentan menekan mental
remaja yang bersangkutan. Sebab, ketika tercuat aib kehamilan di luar nikah,
yang umum disikapi masyarakat adalah menyalahkan remaja. Korban pun akan
tertekan batin dan emosional, dan bisa membuat mereka stres.
Menurut Rena, menyikapi kejadian ini, yang harus kita lakukan
adalah mencari solusi, bukan terus menyalahkan. Sebab, yang paling bertanggung
jawab dalam kasus ini adalah kesalahan orangtua yang minim pengetahuan dan
kurang memenuhi kebutuhan psikologi anak, juga buruknya jalinan komunikasi
mereka dengan anak. ”Jika komunikasi berjalan baik, anak akan memiliki “rem”
dan pemahaman yang tepat saat menemui hal-hal yang bersifat bebas dan seksual,”
ujarnya.
Edukasi Seks dan Reproduksi
Pada masa remaja, seseorang akan mengalami perubahan fisik,
psikis, dan pematangan fungsi seksual. Mereka juga kerap diliputi tingginya
egoisme, hingga cenderung mementingkan nafsu dan rasa keingintahuan, termasuk
dalam urusan seks. Menurut Rena, edukasi dan penyuluhan seks dan reproduksi ini
sangat penting bagi para remaja. ”Tapi jangan sampai bersifat vulgar, sehingga
tidak menambah rasa keingintahuan dan mendorong remaja untuk melakukannya,”
tegasnya.
Edukasi ini juga harus dilakukan oleh seseorang yang sangat
berperan dalam hidup remaja, dan memiliki wibawa besar dalam pandangan remaja,
seperti orangtua maupun guru. Namun, imbuh Rena, lebih afdhal jika edukasi ini dilakukan oleh
orangtua, di samping memberikan pembelajaran, juga akan memberi pengetahun dan
kesadaran orangtua terhadap kondisi psikologis anaknya langsung.
Pemerintah juga bertanggungjawab melakukan aneka upaya mengatasi
maraknya pergaulan bebas para remaja. Pertama,dengan
memberi penyuluhan dan edukasi kepada para orangtua agar mau lebih mengetahui
gejala psikologis yang sedang dialami anak, dan memenuhi kebutuhan psikologis
mereka. ”Sehingga, anak dapat mengimbangi arus pergaulan dan modernitas yang
dihadapinya,” papar Rena.
Maksimalisasi kineja PIK KRR juga harus diupayakan. Agar
permasalahan kesehatan reproduksi remaja dan edukasi pengetahuan seks dan
reproduksi di kalangan remaja konsisten berjalan. Tapi Rena kembali menegaskan,
agar upaya ini tidak dilakukan secara vulgar.
===
Boks
Bukan Salah Pernikahan Dini
Kejahatan seks bebas telah menjerat generasi muda Indonesia saat
ini. Menurut dr Rini dari Forum Muslimah untuk Indonesia Sehat, kebijakan
pemerintah dalam pencegahan perkawinan dini atau usia muda merupakan salah satu
faktor pemicu rebaknya kejahatan seks bebas.
“Pemerintah seharusnya melakukan langkah-langkah pencegahan bagi
terjadinya model dan gaya hidup seks bebas, bukan justru mencegah perkawinan
dini,” tegas Rini dalam diskusi interaktif Kesehatan Reproduksi Remaja di
kampus Universitas Islam Bandung (Unisba) beberapa waktu lalu. Menurutnya, perilaku seks bebas harus didahulukan dicegah karena
bukan hanya membawa dampak buruk termasuk penyakit kelamin, tapi juga merusak
masyarakat dengan penyakit moral.
Terkait dengan amandemen UU no. 23/1992 Tentang Kesehatan yang
sepintas melegalkan aborsi, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
(UI) ini menolak tegas. Menurutnya, tidak ada aborsi yang aman, “Tidak
dilegalkan saja kasus aborsi sudah tiga juta per tahun. Aborsi bukan hanya
masalah medis, tetapi juga merupakan masalah sosial,” tandasnya.
Dokter muda ini pun menyayangkan penyuluh kesehatan yang kerap
kali menggunakan alat peraga. “Penjelasan organ-organ reproduksi, organ
genital, baik dari segi fisiologis maupun anatomis, akan membentuk persepsi
seksual yang akan menggelorakan nafsu seksual yang akhirnya mendorong seks
bebas,” katanya.
No comments:
Post a Comment